Perlu Kemajuan dalam Perfilman Indonesia!!
Perlu Kemajuan
dalam Perfilman Indonesia!!
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang
pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan
untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan
sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai
lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid
tipis dalam bentuk gambar negatif.[1] Meskipun kini film bukan hanya dapat
disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan
diputar kembali dalam media digital
Berdasarkan
cerita, film dapat dibedakan antara film Fiksi dan Non-Fiksi. Fiksi merupakan
film yang dibuat berdasarkan imajinasi manusia, dengan kata lain film ini tidak
didasarkan pada kejadian nyata. Kemudian film Non-Fiksi yang pembuatannya
diilhami oleh suatu kejadian yang benar-benar terjadi yang kemudian dimasukkan
unsur-unsur sinematografis dengan penambahan efek-efek tertentu seperti efek
suara, musik, cahaya, komputerisasi, skenario atau naskah yang memikat dan lain
sebagainya untuk mendukung daya tarik film Non-Fiksi tersebut. Contoh film
non-fiksi misalnya film The Iron Lady yang diilhami dari kehidupan Margaret
Thatcher
Film
salah satu bentuk hiburan yang menarik yang dapat mempengaruhi pandangan
seseorang atau media edukasi untuk menyampaikan suatu pesan. Kini di Indonesia
mulai mempunyai titik terang untuk industry perfilman, karena sarana yang
disediakan sudah mempuni bagi masyarakat menikmati berbagai hasil kreatifitas
dan inovasi sutradara-sutradara Indonesia maupun luar negeri.
Berbicara
tentang film luar negeri, karena era global yang kini melanda banyak negara.
Film karya produser luar pun begitu mudah masuk dan dinikmati masyarakat
Indonesia. Bahkan tak dapat dihindari ketika sebagian masyarakat lebih memilih
menonton film luar negeri dari pada
film dalam negeri. Alasannya adalah
lebih menarik dari segi alur cerita, efek pada film atau pun lebih dapat masuk
serta berimajinasi lebih dalam ketika menonton film luar.
Jumlah
penonton film luar negeri pun semakin bertambah dari tahun ke tahun, karena tak
dapat dipungkiri bahwa teknologi dan pemerintah sangat mendukung dengan
kemajuan salah satu seni peran ini. Disana seni ini lebih bernilai ekonomis
yang sangat menjanjikan, untuk itu banyak investor yang berani mendanai semua
proses pembuatan film tersebut, apa lagi jika sutradara yang dimaksud sudah
sukses dalam beberapa film. Ini terjadi di negeri paman sam, industry ini amat
dihargai dan kepercayaan itu tak disia-siakan oleh sebagian sutradara yang
membuat film dengan animasi terbaik dan cerita yang bernuansa imanjinasi, Iron
man misalnya. Tak hanya di negerinya saja. Di Indonesia film tersebut disambut
sangat hangat oleh para penggemar film action animasi tersebut. Hingga pada
minggu pertama setelah peluncurannya film ini langsung menjadi film yang
berpendapatan terbanyak, itu bertahan hingga empat pekan setelahnya.
Terdapat
delapan delapan produser film raksasa yang selama ini sudah merajai industri
perfilman dunia, diantaranya: Columbia, Fox, MGM, Paramount, Universal, Warner
Brothers, Buena Vista (Disney), TriStar (Sony)
Mereka
merupakan bagian dari integrasi vertikal konglomerasi yang mendominasi
distribusi dan produksi film. Masing-masing perusahaan memiliki kemampuan untuk
memproduksi 15 hingga 25 film setiap tahun. Namun sesungguhnya perusahaan
produksi film tersebut telah mengurangi produktivitasnya dengan memproduksi
lebih sedikit film pada kisaran tahun 2008-2009 dan menjadi lebih konservatif
dan berhati-hati dalam segala keputusan distribusi dan produksi mereka.
Sekarang, perusahaan besar berani menginvestasikan rata-rata sekitar
US$66.000.000 perfilm, ditambah biaya pengiklanan dan promosi sekitar rata-rata
US$36.000.0000.
Jika
dibandingkan dengan di Indonesia, salah satu seni peran ini tidak mempunyai
begitu banyak peminat. Hanya golongan tertentu yang dapat menikmatinya, mungkin
karena masalah ekonomi paling utama. Ya Indonesia saja masih dalam tahap negara
berkembang, tentu kalah jauh dengan negeri adi kuasa tersebut. Dan berkembang
hanya dalam beberapa sector atau pemerintah belum sepenuhnya memberi dukungan
pada film-film Indonesia karena sector lain seperti ekonomi saja belum stabil.
Namun setidaknya ada yang perlu ditonjolkan dalam perkembangan tersebut
sehingga ada senja utama yang dapat diandalkan dalam memasuki era global ini.
Film
Indonesia dari tahun ketahun memang memiliki kemajuan, tetapi belum
sesignifikan film di negara-negara lain yang dapat menembus perfilman di negeri
orang. Mungkin karena kualitas yang disuguhkan belum berkualitas, belum
mengenal siapa penontonnya atau bagaimana keinginan penonton agar bisa masuk
dalam alur film tersebut.
Lebih
melihat sisi internalnya sendiri bahwasannya sebenernya banyak sutradara yang
berkualitas dalam menciptakan karya, contohnya dua film baru baru ini yang
berjudul Laskar Pelangi dan 5cm. Ketika diteliti ternyata film tersebut
diadaptasikan dari novel yang sudah laris dipasaran, dan bukan tidak mungkin
mereka yang sudah mempunyai buku atau pun yang sudah pernah membacanya ingin
melihat bagaimana dari sisi lain dimana pehaman mereka serta imajinasi yang
diciptakan sesuai atau tidak untuk itu mereka menonton dan penggemar film pun
tak mau ketinggalan meskipun mereka tidak mempunyai gambaran sebelumnya untuk
itu mereka menonton, untuk mengetahui pesan apa sebenarnya yang sutradara
sampaikan.
"Banyak
dari film tersebut televisi enggak mau membeli dan menyiarkan. Formula film
populer diikuti namun penonton jadi cepat bosan. Kita sama-sama mengecewakan
penonton. Merasa membayar tapi tak dapat kualitas sepadan,” kata Anitio.
Sementara
itu menurut Marceli Sumarno, pengamat dan kritikus film sekaligus dosen IKJ,
ada empat pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apakah bioskop bisa melayani
semu kalangan dan mencapai pelosok? Apakah film menimbulkan ruang imajinasi?
Apakah ada tafsiran baru terhadap realitas? apakah para pembuat film mengenal
penonton kita?
Marceli
kemudian memaparkan pendapatnya terhadap empat poin tersebut. "Pandai-pandailah
orang film untuk membikin orang datang. Imajinasi menolong kita untuk mengenal
hidup dan memecahkan masalah kehidupan. Seorang pembuat film bisa melakukan
interpretasi akan suatu hal."
Memang
sebenarnya perfilman Indonesia dapat maju sesuai dengan porsinya berlatar
belakang budaya, karakter atau pun kebiasaan bangsa Indonesia itu sendiri. Itu
akan sedikit menarik apa lagi jika itu berhasil menembus dunia perfilman
internasional, keuntungan lebih dalam mengeksplor ke mata dunia juga bahwa Indonesia
itu Indah. Tinggal bagaimana cara produser dalam membuat ini semakin nyata dan
tak hanya itu pemerintah sebagai peran penyokong serta penyeimbang seharusnya
turut ikut serta dalam hal ini. Karena tanpa adanya dukungan yang kuat dari
semua pihak bukan mustahil semua tujuan akan sulit dicapai, perfilman Indonesia
atau kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi mari menjadi penonton yang
bijak untuk dapat memajukan perfilman negara kesatuan republic Indonesia.
Referensi
:
http://m.cnnindonesia.com/hiburan/20150626204622-220-62699/kenapa-jumlah-penonton-film-indonesia-terus-merosot/
http://m.cnnindonesia.com/hiburan/20150626204622-220-62699/kenapa-jumlah-penonton-film-indonesia-terus-merosot/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perkembangan_Film
Komentar
Posting Komentar